Westphalian System
Pendahuluan
Perjanjian
Westphalia dilaksanakan pada tahun 1648 dilatar belakangi oleh Perang Tiga
Puluh Tahun (1618–1648) di Kekaisaran Romawi Suci dan Perang Delapan Puluh
Tahun (1568–1648) antara Spanyol dan Republik Belanda membawa dampak yang besar
bagi dunia dengan konsep negara-bangsa.
perjanjian westphalia |
Perjanjian
ini ditandai oleh dua peristiwa besar yang pertama adalah penandatanganan
Perdamaian Münster antara Republik Belanda dan Kerajaan Spanyol pada tanggal 30
Januari 1648 dan yang kedua Penandatanganan dua perjanjian komplementer pada
tanggal 24 Oktober 1648, yaitu Traktat Münster dan Traktat Osnabrück
Disamping
menjadi akhir dari perang yang sudah berlangsung selama 30 tahun, Perjanjian
Westphalia juga telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah
terjadi di Eropa, Perjanjian perdamaian tersebut juga telah mengakhiri ke
Kaisaran Romawi yang suci, dan Hubungan antara negara-negara dilepaskan dari
persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional
masing-masing negara
Westphalian System
Perjanjian
Westphslia adalah hasil kongres diplomatik besar, sehingga menciptakan sistem
tatanan politik baru di Eropa Tengah yang kelak disebut sebagai Westphalian System atau Sistem Westhphalia
yang merujuk juga pada kedaulatan Westphalia.
Dengan
munculnya negara-bangsa sebagai aktor yang dominan dalam setiap perilaku
politik hubungan internasional maka konsepsi
tatanan sistem negara ini merupakan pola kehidupan internasional selama
tiga abad. Di masa sekarang hal tersebut masih merupakan pola yang dominan yang
tetap berlaku. Ada beberapa hal yang berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dari
sistem negara yang ada, yang kemudian membuat negara-bangsa menjadi aktor
dominan serta bergerak sendiri tanpa ada pengaruh dari luar, yaitu:
1.
Nasionalisme, yang bisa
didefinisikan sebagai persepsi identitas seseorang terhadap suatu kolektivitas
politik yang terorganisasi secara teritorial, nilai psikologi atau spiritual
yang mempersatukan penduduk dari suatu negara dan menimbulkan kehendak pada
mereka untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan negaranya.
2.
Kedaulatan Nasional,
yaitu teori hukum yang memberikan negara kekuasaan yang tidak terbatas atas
semua kepentingan, baik itu di dalam negeri maupun dalam hubungannya dengan
negara-negara lain.
3.
Kekuatan Nasional,
yaitu kekuasaan suatu negara (the might of a state) yang memberikan alat
perlengkapan untuk melaksanakan segala hal yang dikehendaki oleh negara supaya
dilakukan, yang kemudian kita sebut dengan kepentingan nasional.
Perjanjian
Westphalia mendukung bangkitnya
negara-bangsa (nation-state), institusionalisasi terhadap diplomasi dan tentara.
Sistem yang berasal dari Eropa ini diekspor ke Amerika, Afrika, dan Asia lewat
kolonialisme, dan “civilization standards”. Sistem internasional kontemporer akhirnya dibentuk lewat
dekolonisasi selama Perang Dingin. Namun, sistem ini tampaknya terlalu
disederhanakan. Sementara sistem negara-bangsa dianggap “modern”, banyak negara
tidak masuk ke dalam sistem tersebut dan disebut sebagai “pra-modern”. Lebih
lanjut, beberapa telah melampaui sistem negara-bangsa dan dapat dianggap
“pasca-modern”.
Kedaulatan
Westphalia adalah konsep kedaulatan negara-bangsa di teritorinya sendiri tanpa
campur tangan agen asing dalam struktur domestiknya.
Para
pakar hubungan internasional menyebut sistem internasional negara, perusahaan
multinasional, dan organisasi modern yang berorientasi Barat bermula di
Perdamaian Westphalia tahun 1648. Baik dasar maupun kesimpulan pandangan ini dikritik
oleh sejumlah akademisi dan politikus revisionis. Para revisionis
mempertanyakan pentingnya perjanjian damai Westphalia tersebut. Sejumlah
komentator dan politikus menyerang sistem negara-bangsa berdaulat Westphalia.
Pandangan
Tradisional
Dalam pandangan tradisional Penganut
konsep sistem Westphalia merujuk pada Perdamaian Westphalia yang ditandatangani
tahun 1648 yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun. Waktu itu sebagian besar
negara Eropa (Kekaisaran Romawi Suci, Spanyol, Perancis, Swedia, dan Republik
Belanda) sepakat untuk menghormati prinsip integritas wilayah. Dalam sistem Westphalia,
kepentingan nasional dan tujuan negara (serta negara-bangsa) secara luas
dianggap melampaui kepentingan dan tujuan warga negara atau penguasa manapun. Negara
menjadi agen institusional utama dalam sistem hubungan antarnegara. Perdamaian Westphalia
kabarnya berhasil mengakhiri upaya penerapan kewenangan supranasional terhadap
negara-negara Eropa. Doktrin "Westphalia" yang menyebutkan negara
sebagai agen merdeka dipertegas oleh perkembangan pola pikir nasionalisme pada
abad ke-19. Pola pikir nasionalisme menganggap negara yang sah punya kaitannya
dengan bangsa, yaitu sekumpulan masyarakat yang disatukan oleh bahasa dan
budaya.
Sistem
Westphalia mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19. Meski pertimbangan
praktisnya masih mendorong negara-negara kuat berusaha memengaruhi urusan
negara lain, intervensi paksa oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri
negara lainnya semakin berkurang antara 1850 dan 1900, berbeda dengan periode
sebelumnya.
Perdamaian
Westphalia penting dipelajari dalam teori hubungan internasional modern dan
sering ditetapkan sebagai awal sistem internasional yang dibahas dalam disiplin
ilmu ini.
Beberapa
teoriwan hubungan internasional mengidentifikasi sejumlah prinsip utama dalam
Perdamaian Westphalia yang menjelaskan pentingnya Perdamaian tersebut dan
damaknya terhadap dunia masa kini:
1. Prinsip
kedaulatan negara dan hak asasi penentuan nasib politik
2. Prinsip
kesetaraan hukum antarnegara
3. Prinsip
non-intervensi suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lainnya
Prinsip-prinsip
tersebut dianut oleh paradigma hubungan internasional "realis" masa
kini, sehingga semakin jelas alasannya sistem negara disebut sebagai "Sistem Westphalia".
Baik
ide kedaulatan Westphalia dan penerapannya telah dipertanyakan sejak
pertengahan abad ke-20 sampai seterusnya dari berbagai sudut pandang. Sebagian
besar perdebatan membahas ide internasionalisme dan globalisasi yang tampaknya
bertentangan dengan kedaulatan Westphalia dilihat dari sejumlah interpretasi.
Pandangan Moderen
Dalam pandangan moderen Sistem Westphalia dijadikan singkatan oleh para akademisi untuk
mendeskripsikan sistem negara yang membentuk dunia saat ini. Pada tahun
1998, di Simposium Pelanjutan Relevansi Politik Perdamaian Westphalia,
Sekretaris Jenderal NATO Javier Solana mengatakan bahwa "kemanusiaan dan
demokrasi [adalah] dua prinsip yang pada dasarnya tidak relevan dengan tatanan Westphalia
yang asli" dan mengkritik bahwa "sistem Westphalia memiliki batasan.
Misalnya, prinsip kedaulatan yang digantungkannya juga menciptakan alasan
persaingan, bukan kerja sama antarnegara; pengucilan, bukan integrasi.
Pada
tahun 2000, Menteri Luar Negeri Jerman Joschka Fischer mengomentari Perdamaian Westphalia
dalam pidatonya di Universitas Humboldt Berlin. Ia berpendapat bahwa sistem
politik Eropa yang dibentuk oleh Westphalia sudah kedaluwarsa: "Inti
konsep Eropa pasca-1945 masih merupakan penolakan terhadap prinsip keseimbangan
kekuatan Eropa dan ambisi hegemonik negara-negara individual yang bermunculan
setelah Perdamaian Westphalia tahun 1648, penolakan yang terwujud dalam
pencampuran kepentingan vital dan peralihan hak kedaulatan negara-bangsa ke
sejumlah lembaga supranasional Eropa."
Setelah
serangan Madrid 11 Maret 2004, Lewis Atiyyatullah, yang mengaku sebagai wakil
jaringan teroris al-Qaeda, menyatakan bahwa "sistem internasional yang
dikembangkan Barat sejak Perjanjian Westphalia akan runtuh; dan sistem internasional
baru akan bangkit di bawah kepemimpinan satu negara Islam yang kuat"
Globalisasi
juga diklaim telah mengubah sistem internasional melampaui sistem negara
berdaulat Westphalia. Benedict Anderson menyebut "bangsa" yang
sifatnya putatif (diada-adakan atau diciptakan) adalah "komunitas
khayalan" semata.
Pihak
lainnya justru mendukung sistem negara Westphalia, termasuk nasionalis Eropa
dan palokonservatif Amerika Serikat Pat Buchanan. Para pendukung negara Westphalia
menentang sosialisme dan sebagian wujud kapitalisme karena meremehkan
negara-bangsa. Karier politik Buchanan dipenuhi serangan terhadap globalisasi,
teori kritis, neokonservatisme, dan pemikiran lain yang ia anggap berbahaya
bagi bangsa-bangsa Barat masa kini.
Globalisasi
`Selama
1980-an dan awal 1990-an, literatur globalisasi masih berfokus pada pengikisan
kedaulatan ketergantungan dan kedaulatan Westphalia. Kebanyakan literatur
tersebut mengkritik model politik internasional realis yang menganggap tafsiran
negara Westphalia selaku agen kesatuan sebagai sesuatu yang aksiomatis
(Camilleri and Falk 1992).
Konsep
berbagi kedaulatan yang dianut Uni Eropa juga agak bertentangan dengan
pandangan historis kedaulatan Westphalia, karena Uni Eropa mengizinkan agen
asing ikut campur dalam urusan dalam negeri suatu negara.
Dalam
artikel tahun 2008, Phil Williams mengaitkan kebangkitan terorisme dan aktor
non-negara keras lainnya (VNSA; violent non-state actor) dengan globalisasi.
Terorisme dan VNSA dianggap mengancam kedaulatan negara Westphalia
Intervensi Militer
Sejak
akhir abad ke-20, ide kedaulatan Westphalia semakin dipertanyakan setelah
terjadi serangkaian rencana maupun aksi intervensi militer di bekas Yugoslavia,
Afghanistan, Irak, Sudan, dan lainnya.
Intervensi
Kemanusiaan
Intervensi
yang dilancarkan ke Kamboja oleh Vietnam (Perang Kamboja–Vietnam) atau ke
Bangladesh (waktu itu bagian dari Pakistan) oleh India (Perang Pembebasan
Bangladesh dan Perang India-Pakistan 1971) memiliki dasar yang diragukan atau
lemah dalam hukum internasional, tetapi dilakukan atas dasar bahwa mereka
melakukan intervensi kemanusiaan yang bertujuan mencegah genosida, kehilangan
jiwa dalam jumlah besar, atau pemusnahan etnis. Untuk kasus Pakistan
Timur/Bangladesh, India mengklaim bahwa mereka bertindak untuk mempertahankan
diri alih-alih kepentingan kemanusiaan. India berpendapat bahwa skala arus
pengungsi dari Pakistan Timur ke India mengancam stabilitas dalam negeri India,
sehingga mereka mengintervensi Bengal Timur untuk memberantas akar ancaman
terhadap India.
Walaupun
begitu, muncul perdebatan seputar apakah penerobosan kedaulatan negara terkini,
seperti yang terjadi di Kosovo (waktu itu bagian dari Serbia dan Montenegro)
oleh NATO (Pengeboman NATO di Yugoslavia 1999) dan pemisahan de facto Kosovo
dari Serbia, di Irak oleh Amerika Serikat dan sejumlah sekutunya seperti
Britania Raya (Perang Irak 2003), di Georgia oleh Rusia (Perang Ossetia Selatan
2008), atau di Libya oleh NATO (Perang saudara Libya 2011), juga merefleksikan
prinsip yang lebih agung atau apakah justifikasi sejatinya hanya mengandung kepentingan
politik dan ekonomi.
Tafsiran
baru mengenai kedaulatan kontingen mulai tercipta, tetapi belum mencapai titik
legitimasi internasional. Neokonservatisme telah mengembangkan pola pikir
serupa dan menegaskan bahwa ketiadaan demokrasi bisa jadi menciptakan krisis
kemanusiaan di masa depan, atau bahwa demokrasi itu sendiri adalah hak asasi
manusia sehingga negara-bangsa yang tidak menghormati prinsip-prinsip demokrasi
membuka dirinya sendiri terhadap perang sah dengan negara lain. Akan tetapi,
para pengusung teori ini dituduh hanya mempermasalahkan demokrasi, HAM, dan
krisis kemanusiaan di negara-negara yang menentang dominasi global Amerika
Serikat, seperti bekas Yugoslavia, Irak, Iran, Rusia, Cina, Belarus, Korea
Utara, Sudan, Venezuela, dan lain-lain, namun malah mengabaikan isu yang sama
di negara-negara yang bersahabat dengan Amerika Serikat, seperti Pakistan, Arab
Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, Mesir, Georgia, dan Kolombia.
Negara gagal
Kritik
lain yang dilontarkan terhadap kedaulatan Westphalia berkaitan dengan negara
yang diduga gagal. Afghanistan (sebelum invasi AS tahun 2001) sering dianggap
contoh negara gagal. Dalam hal ini, kedaulatan dianggap tidak ada dan
intervensi internasional diizinkan atas dasar kemanusiaan serta ancaman yang
dimiliki negara gagal tersebut terhadap negara tetangganya dan seluruh dunia.
Perdebatan seputar sistem kedaulatan Westphalia juga mengacu pada sitausi yang
terjadi di Somalia.
Kesimpulan
Perjanjian
Westphalia yang menghasilkan Prinsip kedaulatan negara dan hak asasi penentuan
nasib politik, Prinsip kesetaraan hukum antar negara dan Prinsip non-intervensi
suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lainnya oleh sebab itu sistem
negara saat ini disebut dengan Westphalian System atau Sistem Westphalia namun
dalam pertimbangan praktisnya masih menuai kritik karena kecenderungan negara
lebih kepada persaingan sehingga mendorong negara-negara kuat berusaha memengaruhi
urusan negara lain selain juga terkikisnya kedaulatan oleh sebab globalisasi, sampai
negara yang dianggap gagal hingga cenderung menimbulkappn intervensi.
Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kedaulatan_Westfalen
http://id.wikipedia.org/wiki/Perdamaian_Westfalen
http://triscamiaa-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-84689-Sejarah%20Diplomasi-Diplomacy%20in%20the%20era%20of%20Westphalia%20system%20%2816481814%29.html
http://triscamiaa-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-84689-Sejarah%20Diplomasi-Diplomacy%20in%20the%20era%20of%20Westphalia%20system%20%2816481814%29.html
http://tita-yorinda-fisip14.web.unair.ac.id/artikel_detail-111207-Tugas%20SOH-Perjanjian%20Westphalia%20dan%20Dampak%20terhadap%20Hubungan%20Internasional.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar