Rabu, 29 April 2015

Suprastruktur Politik, Tenno & Masyarakat serta Sistem Pemilu dan Kepartaian Jepang



Nama : Ansor Budiman 
NIM  : 130205098
Suprastruktur Politik,  Tenno & Masyarakat serta Sistem Pemilu dan Kepartaian Jepang

Jepang menganut sistem pemerintahan parlementer, oleh karena itukekuasaan lembaga –lembaga negara tersebut tidak terpisah, melainkan terdapat hubunan timbal balik yang sangat erat. Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial murni, yang didalamnya terdapat pemisahan kekuasaan secara tegas. Berikut adalah Hubungan antara suprasturktur di Jepang :




Penjelasan :
a.   Kabinet dapat membubarkan Parlemen tetapi hanya Majelis Rendah/House of Councellors.
b.   Parlemen mengangkat/menunjuk Perdana Menteri dengan syarat harus orang sipil dan harus dari anggota Parlemen /Diet
c.   Mahkamah Agung bertugas  mengawasi Kabinet dalam melaksanakan Konstitusi 1947
d.   Kabinet menunjuk Ketua Mahkamah Agung dan Hakim Agung
e.   Mahkamah Agung mengawasi jalannya/pelaksanaan tugas-tugas Parlemen (misalnya dalam pembuatan Undang-Undang).
f.    Impeachment, Diet bisa memanggil Mahkamah Agung memepertanggungjawabkan perbuatannya, atau dapat menuduh Mahkamah Agung tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Terlihat jelas bahwa terdapat hubungan timbal balik (saling mengawasi ) antara lembaga-lembaga negara  Jepang.[1]


Peran Tenno dan Rakyat dalam Jepang Kontemporer
Peran Tenno
Didalam Konstitusi 19465 Kedudukan kaisar Jepang adalah sebagai simbol negara dan pemersatu rakyat dalam menjalankan peran yang murni seremonial tanpa kedaulatan yang sesungguhnya. Jadi walaupun Kasiar adalah kepala negara namun fungsinya sebagai seremonial belaka. Sehingga Kaisar Jepang hanya bertindak sebagai kepala negara yang mengurusi segala urusan yang berhubungan dengan diplomatik. 

Peran Rakyat 
Peran rakyat di era Konstitusi Meiji tahun 1889,  Janya memilih anggota Shūgi-in (Majelis Rendah) dan sedangkan anggota Kizoku-in diangkat dari keluarga kekaisaran, bangsawan, dan orang-orang yang ditunjuk oleh kaisar.[2]  Sedangkan  konstitusi sekarang mentapkan rakyat untuk memilih  Majelis Rendah Jepang (衆議院 shūgi'in) dan Majelis Tinggi Jepang (参議院 sangi'in). Kedua majelis dipilih secara langsung melalui sistem pemilihan paralel.[3] Serta secara nasional bisa melakukan review terhadap hakim MA.

Kepartaian di Jepang
Sejak diberlakukannya konstitusi baru pada tahun 1947, terdapat tiga partai besar yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum, yaitu Partai Liberal (Jiyuto), Partai Sosialis (Shakaito) dan Partai Demokrat (Minshuto). 

Sistem Pemilihan Umum Tahun 1955
Pada umumnya terdapat 2 (dua) prinsip pokok sistem pemilihan umum yaitu Single-member Constituency  (Sistem Distrik) dan Multi-member Constituency (Proportional Representation/Sistem Perwakilan Berimbang sedang gabungan antara keduaanya disebut sistem campuran.[4]
Pada tahun 1955, dua partai berhaluan konservatif kanan, Jiyuto dan Minshuto, melebur menjadi satu partai yang dominatif hingga tahun 1993, Partai Demokrat Liberal (Jiyu Minshuto, Jiminto, Liberal Democratic Party atau LDP). Sejak periode ini, dikenal istilah Sistem (gojugonen taisei) 1955 [5]. Di Jepang bahkan di era sebelum Perang Dunia Kedua. Dimana awalnya Jepang memang merupakan sebuah negara multi-partai, namun dua partai ini merupakan partai politik yang paling dominan saat itu.
Kiprah LDP sangat dominatif ini membuat istilah baru yang dinamakan ichi to-ni bun’no ichi seito-sei (sistem satu-setengah partai), mengingat hasil perolehan suara tidak dapat ditandingi Partai lain. Di sisi lain, LDP telah membentuk sebuah jaringan kuat yang dinamakan tetsu no sankaku chitai atau segitiga besi yang dihuni oleh partai berkuasa LDP dengan keiretsu (pebisnis) dan birokrasi sebagai penopangnya. Dominasi LDP di dalam dinamika politik di Jepang memang tidak dapat dilepaskan dari sistem partai politik tahun 1955. Pasca PD II sistem politik sangat bergantung dengan keinginan politik AS. SCAP dan GHQ ketika itu melarang semua anggota parlemen petahanan sebelum PD II untuk kembali menduduki posisinya. Pemilu pertama pasca-Perang Dunia Kedua diikuti hingga 267 partai politik.
            Di dalam sistem pemilihan umum tahun 1955, kebijakan elektoral yang digunakan ialah penggunaan metode single non-transferable vote (SNTV). Penggunaan metode ini berarti di dalam setiap distrik sebuah partai politik diharuskan untuk mencalonkan lebih dari satu calon. Pemilihannya akan sangat difokuskan kepada pemilihan calon-calon individu ini ketimbang kepada partai politik itu sendiri. Banyak pengamat yang beranggapan partai LDP sangatlah diuntungkan dengan sistem ini dikarenakan posisi partai ini sebagai pemerintah sangat memudahkan bagi anggota-anggotanya dikenal oleh masyarakat Jepang ketimbang partai Sosialis yang kurang dikenal individu-individu anggotanya.
Sejak tahun 1955, LDP memiliki kemampuan sebagai partai yang hegemonik dalam tatanan pemerintahan Jepang selama 38 tahun, akhirnya dikalahkan melalui koalisi partai-partai lawan yang berhasil meraih kursi mayoritas pada tahun 1993, Meskipun LDP merupakan partai yang berkuasa sangat lama dan berpengaruh sangat kuat dalam setiap langkah politis, ekonomis, diplomatis dan bahkan kulturalis Jepang, LDP tidak pernah memperoleh suara yang menjadikannya memiliki dua-per-tiga kursi di parlemen, sehingga tidak sedikit dari rancangan kebijakan LDP yang diveto oleh oposisi di dalam parlemen
Kemajuan ekonomi di Jepang di masa 1960-1980an ternyata telah membawa banyak elit politik LDP menjadi korup dan banyak melakukan persekongkolan dengan kalangan pengusaha. Di 1980an hal ini semakin terungkap. Masyarakat Jepang yang sebelumnya bersifat konservatif dan mengedepankan status-quo, kini berubah dan mendukung adanya reformasi dan berakhirnya dominasi LDP. Merosotnya dominasi LDP mulai menjadi kenyataan pada tahun 1989 di saat kekalahan LDP pada pemilihan majelis tinggi di parlemen. Pada tahun ini pula partai Sosialis Jepang mulai merestrukturisasi sistem internalnya. Puncaknya pada tahun 1993 LDP untuk pertama kalinya tidak mampu meraih kursi lebih dari empat puluh persen di kokkai. Dikalangan LDP sendiri terjadi perpecahan terbukti di kala pasca-pemilihan umum tahun 1993, menghasilkan tiga partai politik baru yang dibentuk oleh para anggota-anggota LDP terdahulu. Partai-partai tersebut adalah Shinshinto (New Frontier Party atau NFP, yang pada tahun 1998 menjadi Minshuto atau DPJ), Shinseito dan Shinto Sakigake.

Reformasi Pemilihan Umum Jepang
            Pada tahun 1993 shugi-in kokkai meloloskan berbagai undang-undang untuk mereformasi sistem pemilihan umum. Sistem yang baru ini memiliki tiga tujuan utama yaitu, mengurangi biaya kampanye dan kemungkinan terjadinya korupsi, menggantikan sistem pemilihan yang individu-sentris menjadi partai-sentris, dan juga untuk menciptakan alternatif baru di dalam sistem parlementarian Jepang. Metode pemilihan umum dirubah menjadi lebih terpusat kepada posisi partai politik.
Reformasi di dalam metode pencalonan di dalam pemilihan umum memang terjadi, namun tidak sepenuhnya reformasi ini terjadi. Dengan berbagai macam kompromi politik dengan banyak kekuatan-kekuatan partai politik, akhirnya sistem yang dipilih ialah memperkecil wilayah kandidat meskipun tetap bersifat individual (Single-member District atau SMD) dan menambahkan satu jenis pencalonan lagi yaitu perwakilan proporsional yang ditujukan untuk terbentuknya kelompok oposisi yang baik. Sistem ini disebut mixed member sistem yang meletakan kekuatan pencalonan untuk dipecah menjadi dua bentuk.

Sistem ini berhasil mengurangi dominasi LDP dan memperkuat posisi oposisi di Jepang. Hasil pemilihan sejak 1993 hingga 2009 juga membawa LDP tidak pernah lagi mencapai hasil di atas empat puluh persen pada pemilu majelis rendah hingga kini. Posisi oposisi yang kuat ini kemudian terbukti mampu membuat dinamika politik di Jepang menjadi sangat dinamis dan seringkali berhasil menjatuhkan para perdana menteri dari LDP. Hingga pada akhirnya pada tahun 2009, DPJ, partai politik oposisi paling kuat mampu memenangkan pemilihan umum dan menjadi partai berkuasa.
    Dampak reformasi sistem pemilihan umum ini mempengaruhi tingkatan anggota parlemen yang terpilih kembali. Meskipun dengan sistem 1955, tingkatan anggota parlemen yang terpilih kembali sudah tinggi dengan tingkatan 82%, setelah reformasi dilaksanakan tingkatan ini justru lebih meningkat. Dengan implikasi ini, pemerintahan koalisi pun semakin sering terjadi pasca-reformasi sistem pemilu 1993 bila dibandingkan sebelum 1993.[6]

Kesimpulan.
Sangat jelas terlihat adanya hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga negara  Jepang. Peran Tenno Pasca PD II hanya sebagai simbol dan Peran Rakyat menjadi lebih luas untuk memberikan input pada sistem apalagi berubahnya sistem pemilu dimana rakyat memilih Shugi’in dan Sangi’in secara langsung. Perkembangan Sistem politik dalam hal kepartaian dan pemilu pada awalnya sangat dipengaruhi oleh AS pasca PD II namun dalam perkembangannya LDP sebagai Partai Konservatif memberikan kekecawaan pada masyarakat dan memicu Reformasi Pemilihan Umum di Jepang


[1] Yustisia 1992. “MENGENAI SISTEM POLITIK DAN SISTEM PEMERINTAHAN JEPANG”  No 22/1992. ISSN 0852-094, JUNI-AGUSTUS 1992
[2] Wikipedia “Majelis Tinggi Jepang” Wikipedia.org Web. Acessed April 29, 2015 http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Tinggi_Jepang
[3] Wikipedia “Majelis Tinggi Jepang” Wikipedia.org Web. Acessed April 29, 2015 http://id.wikipedia.org/wiki/Parlemen_Jepang
[4] Tika Kumala 2013 “Proses Penyelengaraan Pemilu Gabungan” Blogspot.com Web. Acessed April 28, 2015 http://tikakumala7.blogspot.com/2013/06/proses-penyelenggaraaan-pemilu-gabungan.html
[5] Ho Kong-Lim 2012 “Partai Politik dan Pemilihan Umum di Jepang” Blogspot.com  Web. Acessed April 28, 2015 http://hokonglim.blogspot.com/2012/01/partai-politik-dan-pemilihan-umum-di.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar