Nama : Ansor Budiman
NIM
: 130205098
Suprastruktur Politik, Tenno & Masyarakat serta Sistem Pemilu dan
Kepartaian Jepang
Jepang menganut sistem pemerintahan parlementer, oleh karena
itukekuasaan lembaga –lembaga negara tersebut tidak terpisah, melainkan
terdapat hubunan timbal balik yang sangat erat. Hal ini berbeda dengan sistem
pemerintahan presidensial murni, yang didalamnya terdapat pemisahan kekuasaan
secara tegas. Berikut adalah Hubungan antara suprasturktur di Jepang :
Penjelasan :
a. Kabinet dapat membubarkan Parlemen tetapi
hanya Majelis Rendah/House of Councellors.
b. Parlemen mengangkat/menunjuk Perdana Menteri
dengan syarat harus orang sipil dan harus dari anggota Parlemen /Diet
c. Mahkamah Agung bertugas mengawasi Kabinet dalam melaksanakan
Konstitusi 1947
d. Kabinet menunjuk Ketua Mahkamah Agung dan
Hakim Agung
e. Mahkamah Agung mengawasi jalannya/pelaksanaan
tugas-tugas Parlemen (misalnya dalam pembuatan Undang-Undang).
f. Impeachment, Diet bisa memanggil Mahkamah
Agung memepertanggungjawabkan perbuatannya, atau dapat menuduh Mahkamah Agung
tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Terlihat
jelas bahwa terdapat hubungan timbal balik (saling mengawasi ) antara
lembaga-lembaga negara Jepang.[1]
Peran Tenno dan Rakyat dalam Jepang Kontemporer
Peran Tenno
Didalam
Konstitusi 19465 Kedudukan kaisar Jepang adalah sebagai simbol negara dan
pemersatu rakyat dalam menjalankan peran yang murni seremonial tanpa kedaulatan
yang sesungguhnya. Jadi walaupun Kasiar adalah kepala negara namun fungsinya
sebagai seremonial belaka. Sehingga Kaisar Jepang hanya bertindak sebagai
kepala negara yang mengurusi segala urusan yang berhubungan dengan diplomatik.
Peran Rakyat
Peran
rakyat di era Konstitusi Meiji tahun 1889, Janya memilih anggota Shūgi-in (Majelis
Rendah) dan sedangkan anggota Kizoku-in diangkat dari keluarga kekaisaran,
bangsawan, dan orang-orang yang ditunjuk oleh kaisar.[2] Sedangkan
konstitusi sekarang mentapkan rakyat untuk memilih Majelis Rendah Jepang (衆議院 shūgi'in) dan Majelis Tinggi Jepang (参議院 sangi'in). Kedua majelis dipilih secara
langsung melalui sistem pemilihan paralel.[3]
Serta secara nasional bisa melakukan review terhadap hakim MA.
Kepartaian di Jepang
Sejak
diberlakukannya konstitusi baru pada tahun 1947, terdapat tiga partai besar
yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum, yaitu Partai Liberal
(Jiyuto), Partai Sosialis (Shakaito) dan Partai Demokrat (Minshuto).
Sistem Pemilihan Umum
Tahun 1955
Pada
umumnya terdapat 2 (dua) prinsip pokok sistem pemilihan umum yaitu
Single-member Constituency (Sistem
Distrik) dan Multi-member Constituency (Proportional Representation/Sistem
Perwakilan Berimbang sedang gabungan antara keduaanya disebut sistem campuran.[4]
Pada
tahun 1955, dua partai berhaluan konservatif kanan, Jiyuto dan Minshuto,
melebur menjadi satu partai yang dominatif hingga tahun 1993, Partai Demokrat
Liberal (Jiyu Minshuto, Jiminto, Liberal Democratic Party atau LDP). Sejak
periode ini, dikenal istilah Sistem (gojugonen taisei) 1955 [5]. Di
Jepang bahkan di era sebelum Perang Dunia Kedua. Dimana awalnya Jepang memang
merupakan sebuah negara multi-partai, namun dua partai ini merupakan partai
politik yang paling dominan saat itu.
Kiprah
LDP sangat dominatif ini membuat istilah baru yang dinamakan ichi to-ni bun’no
ichi seito-sei (sistem satu-setengah partai), mengingat hasil perolehan suara tidak
dapat ditandingi Partai lain. Di sisi lain, LDP telah membentuk sebuah jaringan
kuat yang dinamakan tetsu no sankaku chitai atau segitiga besi yang dihuni oleh
partai berkuasa LDP dengan keiretsu (pebisnis) dan birokrasi sebagai
penopangnya. Dominasi LDP di dalam dinamika politik di Jepang memang tidak
dapat dilepaskan dari sistem partai politik tahun 1955. Pasca PD II sistem
politik sangat bergantung dengan keinginan politik AS. SCAP dan GHQ ketika itu
melarang semua anggota parlemen petahanan sebelum PD II untuk kembali menduduki
posisinya. Pemilu pertama pasca-Perang Dunia Kedua diikuti hingga 267 partai
politik.
Di dalam sistem pemilihan umum
tahun 1955, kebijakan elektoral yang digunakan ialah penggunaan metode single non-transferable vote (SNTV). Penggunaan
metode ini berarti di dalam setiap distrik sebuah partai politik diharuskan
untuk mencalonkan lebih dari satu calon. Pemilihannya akan sangat difokuskan
kepada pemilihan calon-calon individu ini ketimbang kepada partai politik itu
sendiri. Banyak pengamat yang beranggapan partai LDP sangatlah diuntungkan
dengan sistem ini dikarenakan posisi partai ini sebagai pemerintah sangat
memudahkan bagi anggota-anggotanya dikenal oleh masyarakat Jepang ketimbang
partai Sosialis yang kurang dikenal individu-individu anggotanya.
Sejak
tahun 1955, LDP memiliki kemampuan sebagai partai yang hegemonik dalam tatanan
pemerintahan Jepang selama 38 tahun, akhirnya dikalahkan melalui koalisi
partai-partai lawan yang berhasil meraih kursi mayoritas pada tahun 1993, Meskipun
LDP merupakan partai yang berkuasa sangat lama dan berpengaruh sangat kuat dalam
setiap langkah politis, ekonomis, diplomatis dan bahkan kulturalis Jepang, LDP
tidak pernah memperoleh suara yang menjadikannya memiliki dua-per-tiga kursi di
parlemen, sehingga tidak sedikit dari rancangan kebijakan LDP yang diveto oleh
oposisi di dalam parlemen
Kemajuan
ekonomi di Jepang di masa 1960-1980an ternyata telah membawa banyak elit
politik LDP menjadi korup dan banyak melakukan persekongkolan dengan kalangan
pengusaha. Di 1980an hal ini semakin terungkap. Masyarakat Jepang yang
sebelumnya bersifat konservatif dan mengedepankan status-quo, kini berubah dan
mendukung adanya reformasi dan berakhirnya dominasi LDP. Merosotnya dominasi
LDP mulai menjadi kenyataan pada tahun 1989 di saat kekalahan LDP pada
pemilihan majelis tinggi di parlemen. Pada tahun ini pula partai Sosialis
Jepang mulai merestrukturisasi sistem internalnya. Puncaknya pada tahun 1993
LDP untuk pertama kalinya tidak mampu meraih kursi lebih dari empat puluh
persen di kokkai. Dikalangan LDP sendiri terjadi perpecahan terbukti di kala
pasca-pemilihan umum tahun 1993, menghasilkan tiga partai politik baru yang
dibentuk oleh para anggota-anggota LDP terdahulu. Partai-partai tersebut adalah
Shinshinto (New Frontier Party atau NFP, yang pada tahun 1998 menjadi Minshuto
atau DPJ), Shinseito dan Shinto Sakigake.
Reformasi Pemilihan
Umum Jepang
Pada tahun 1993 shugi-in kokkai
meloloskan berbagai undang-undang untuk mereformasi sistem pemilihan umum. Sistem
yang baru ini memiliki tiga tujuan utama yaitu, mengurangi biaya kampanye dan
kemungkinan terjadinya korupsi, menggantikan sistem pemilihan yang
individu-sentris menjadi partai-sentris, dan juga untuk menciptakan alternatif
baru di dalam sistem parlementarian Jepang. Metode pemilihan umum dirubah menjadi
lebih terpusat kepada posisi partai politik.
Reformasi
di dalam metode pencalonan di dalam pemilihan umum memang terjadi, namun tidak
sepenuhnya reformasi ini terjadi. Dengan berbagai macam kompromi politik dengan
banyak kekuatan-kekuatan partai politik, akhirnya
sistem yang dipilih ialah memperkecil wilayah kandidat meskipun tetap bersifat
individual (Single-member District atau SMD) dan menambahkan satu jenis
pencalonan lagi yaitu perwakilan
proporsional yang ditujukan untuk terbentuknya kelompok oposisi yang baik. Sistem ini disebut mixed member sistem
yang meletakan kekuatan pencalonan untuk dipecah menjadi dua bentuk.
Sistem
ini berhasil mengurangi dominasi LDP dan memperkuat posisi oposisi di Jepang.
Hasil pemilihan sejak 1993 hingga 2009 juga membawa LDP tidak pernah lagi mencapai
hasil di atas empat puluh persen pada pemilu majelis rendah hingga kini. Posisi
oposisi yang kuat ini kemudian terbukti mampu membuat dinamika politik di
Jepang menjadi sangat dinamis dan seringkali berhasil menjatuhkan para perdana
menteri dari LDP. Hingga pada akhirnya pada tahun 2009, DPJ, partai politik
oposisi paling kuat mampu memenangkan pemilihan umum dan menjadi partai
berkuasa.
Dampak reformasi sistem pemilihan umum ini
mempengaruhi tingkatan anggota parlemen yang terpilih kembali. Meskipun dengan
sistem 1955, tingkatan anggota parlemen yang terpilih kembali sudah tinggi
dengan tingkatan 82%, setelah reformasi dilaksanakan tingkatan ini justru lebih
meningkat. Dengan implikasi ini, pemerintahan koalisi pun semakin sering
terjadi pasca-reformasi sistem pemilu 1993 bila dibandingkan sebelum 1993.[6]
Kesimpulan.
Sangat
jelas terlihat adanya hubungan
timbal balik antara lembaga-lembaga negara
Jepang. Peran Tenno Pasca PD II hanya sebagai simbol dan Peran Rakyat
menjadi lebih luas untuk memberikan input pada sistem apalagi berubahnya sistem
pemilu dimana rakyat memilih Shugi’in dan Sangi’in secara langsung.
Perkembangan Sistem politik dalam hal kepartaian dan pemilu pada awalnya sangat
dipengaruhi oleh AS pasca PD II namun dalam perkembangannya LDP sebagai Partai
Konservatif memberikan kekecawaan pada masyarakat dan memicu Reformasi
Pemilihan Umum di Jepang
[1] Yustisia 1992. “MENGENAI SISTEM POLITIK DAN SISTEM PEMERINTAHAN
JEPANG” No 22/1992. ISSN 0852-094,
JUNI-AGUSTUS 1992
[2] Wikipedia “Majelis Tinggi Jepang” Wikipedia.org Web. Acessed April 29, 2015 http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Tinggi_Jepang
[3] Wikipedia “Majelis Tinggi Jepang” Wikipedia.org Web. Acessed April 29, 2015 http://id.wikipedia.org/wiki/Parlemen_Jepang
[4] Tika Kumala 2013 “Proses Penyelengaraan Pemilu Gabungan” Blogspot.com
Web. Acessed April 28, 2015
http://tikakumala7.blogspot.com/2013/06/proses-penyelenggaraaan-pemilu-gabungan.html
[5] Ho Kong-Lim 2012 “Partai Politik dan Pemilihan Umum di Jepang” Blogspot.com
Web. Acessed April 28, 2015 http://hokonglim.blogspot.com/2012/01/partai-politik-dan-pemilihan-umum-di.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar