Kamis, 09 Juli 2015

Mengenal Hasan Al Banna & Pemikirannya [part1]






A.      Pendahuluan


Islam adalah agama universal yang mengajarkan segala sesuatu Islam meliputi alam semesta, ekonomi, sosial politik, dengan konsepsi umum yang kemudian melahirkan banyak interpretasi. Tafsiran antar para pemikir beragam macamnya, termasuk dalam hal pemikiran politik. Pemikiran Politik dalam Islam berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Hasan Al Bana adalah seorang mujahid dakwah, peletak dasar-dasar gerakan Islam sekaligus sebagai pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin) jamaah dari umat Islam yang mengajak dan menuntut ditegakkannya syariat Allah yang kemudian lewat gerakan ini pemikiran tersebar dari mesir ke seluruh dunia. Makalah ini akan membahas Kehidupan Hasan Al Banna, Pemikiran konsepsi politiknya serta pengaruhnya di Indonesia.


Hassan Al-Banna: The man who started it all

B.       Pembahasan


Kehidupan Hassan Al Banna (1906 M - 1949 M)

Hassan al-Banna lahir pada 14 Oktober 1906 di Mahmudiyya, Mesir (utara-barat dari Kairo) beliau adalah seorang guru dan seorang reformis Mesir  baik sosial dan politik Islamnya, yang terkenal karena mendirikan Ikhwanul Muslimin, salah satu organisasi Islam terbesar dan paling berpengaruh dari abad ke-20. Dari usia dua belas tahun, ia mulai terbiasa mendislipinkan kegiatannya menjadi empat; siang hari di pergunakanya untuk menuntut ilmu di sekolah, kemudian belajar membuat dan membetulkan jam dengan orang tua nya hingga sore, waktu sore hingga menjelang tidur ia gunakan untu mengulang kembali pelajaran sekolah.sementara membaca dan mengulang-ulang hafalan al-qur'an ia lakukan seusai salat shubuh. Jadi tidak mengherankan bila Hassan Al-Banna mencetak prestasi-prestasi gemilang di kemudian hari. Pada usia 14 tahun, Hassan Al-Banna telah menghafal seluruh Al-Qur'an. Hassan Al-Banna lulus dari sekolahnya dengan predikat terbaik dan nomor lima terbaik di seluruh mesir. Pada usia 16 tahun ia telah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Darul Ulum. [1]


Sederet prestasi Hassan kecil tidak bisa dilepaskan dari peran Ayahnya, Syaikh Ahmad al-Banna, adalah seorang imam lokal yang dihormati dan guru masjid dari ritus Hanbali. Ia belajar di Al-Azhar University (Lia 24, 1998). Dia menulis dan berkolaborasi pada buku-buku tentang tradisi Islam, dan juga memiliki toko di mana ia memperbaiki jam tangan dan menjual gramophones. Meskipun Syaikh Ahmad Al Banna dan istrinya memiliki beberapa properti, mereka tidak kaya dan harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup, terlebih setelah mereka pindah ke Kairo pada tahun 1924. Seperti kebanyakan orang lainnya, mereka menemukan bahwa belajar Islam dan kesalehan tidak lagi sangat dihargai di ibukota (akibat paham sekular yang begitu kuat saat itu, yang dibawa oleh kolonial inggris untuk merobohkan semangat kaum muslimin), dan bahwa keahlian tidak bisa bersaing dengan industri berskala besar. [2]


Semangat perjuangan Islam dan sifat kepimpinan telah mulai nampak pada umur yang masih muda. Sejak dini Hasan Al-Banna sudah ditempa oleh keluarganya yang taat beragama untuk meraih dan memperdalam ilmu di berbagai tempat dan majelis ilmu. Pertama kali beliau menggali ilmu di Madrasah Ar Rasyad dengan seorang guru bernama syekh Muhammad Zahran yang juga merupakan pemilik madrasah tersebut. Di madrasah ini, Al-Banna belajar hadits nabi dengan target menghapal dan memahaminya. Selain hadits, Al-Banna juga belajar insyak, qawa’id dan lain sebagainya. Kemudian dia pindah ke madrasah ‘Idadiyah dan madrasah al-Muallimin al-Awwaliyah di Damanhur, kemudian melanjutkan ke Darul Ulum Mesir pada tahun 1923 M dalam usia 16 tahun.[3]


Pemikiran Al Banna sangat jauh berbeda dengan cara berfikir penguasa dunia Islam saat itu, dimana seruan agar mencontohi cara barat oleh Kamal Attaturk bertiup kencang dan tidak ada henti ditambah propaganda dengan slogan 'Mesir adalah sebahagian dari Eropa'  selain itu Para nasionalis mendesak pemerintahan Mesir agar kembali ke puncak kejayaan Firaun fenomena ini membuat Hassan al Banna merasa sedih, sebab sebahagian besar orang terhormat dan berpengaruh menyertai barisan modernis yang menyesatkan umat Islam. Dalam keadaan sedih dan pilu ini, beliau berusaha merapatkan diri dengan Sayyid Rashid Rida' serta murid-muridnya. Di sinilah titik permulaan berdirinya satu harakah Islam yang besar dan tersusun untuk menghancurkan Jahilliah Modern dengan segala pemikirannya. Beliau mulai mendidik orang-orang dengan penuh sabar tentang pentingnya Islam dalam kehidupan individual dan masyarakat. Hasan Al-Banna dikenal sebagai seorang yang ahli dalam berpidato, lidahnya sangat fasih, ahli dalam sastera dan pandai memilih kata-kata yang tepat. Pada tahun 1941, dia dipenjara selama sebulan berkaitan dengan pidato yang disampaikannya yang isinya mengkritik sistem politik Inggeris pada Perang Dunia ke II. pada tahun yang sama, dia dipaksa pindah ke Qana. Di tempat barunya ini, Al-Banna terus melanjutkan perjuangannya dengan menyampaikan dakwah dan mengajarkan Islam kepada umat dari satu tempat ke tempat yang lain dan mengirimkan delegasi-delegasi ke seluruh penjuru dunia untuk mengetahui keadaan umat Islam.

Hassan al-Banna dan Ikwhanul Muslim


Pada bulan September tahun 1927 M, Hasan Al Banna diangkat menjadi guru SD di Kota Isma’iliyah, disanalah beliau memulai da’wahnya, di warung-warung kopi kemudian pindah ke masjid. Beliau sudah terbiasa da’wah di tempat-tempat seperti ini, ketika beliau masih mahasiswa di Darul Ulum, Kairo. Da’wah Hasan Al Banna mendapat sambutan dari para pengunjung warung-warung kopi, sehingga sebagian diantara mereka bertanya kepadanya tentang apa yang harus dilakukan demi agama dan tanah air.[4]
Setelah beberapa lama berda’wah di warung-warung kopi kemudian Hasan Al Banna pindah dari warung kopi ke mushalla (Zawiyah). Di Zawiyah inilah beliau berbicara dan mengajarkan praktek ibadah, dan meminta kepada mereka agar meninggalkan kebiasaan hidup boros bermewah-mewahan. Para pendengar menyambutnya dengan baik. Kemudian ia memperluas interaksinya kepada seluruh unsur yang berpengaruh terhadap masyarakat, yaitu para ulama, Syaikh kelompok sufi, tokoh masyarakat (wujaha), dan berbagai perkumpulan-perkumpulan.


Pada bulan Maret 1928 M, datanglah 6 orang laki-laki yang tertarik dengan da’wah Hasan Al-Banna, mereka adalah: Hafiz Abdul Hamid (tukang bangunan), Ahmad Al Hushor (tukang cukur), Fuad Ibrahim (tukang gosok pakaian), Ismail Izz (penjaga kebun), Zaki Al Maghribi (tukang rental dan bengkel sepeda), dan Abdurrahman Hasbullah (supir).[5]


Mereka berbicara kepada Hasan Al-Banna tentang apa yang harus mereka lakukan demi agama dan mereka menawarkan sebagian harta milik mereka yang sedikit. Mereka pun meminta Hasan Al-Banna menjadi pimpinan mereka. Lalu mereka berbai’at kepadanya untuk bekerja demi Islam dan mereka bermusyawarah tentang nama perkumpulan mereka. Imam Al Banna berkata : “Kita ikhwah dalam berkhidmat untuk Islam, dengan demikian kita Al Ikhwanul Muslimin”.[6]


Pada Maret 1928 Hassan al-Banna mendirikan Ikwhanul Muslim, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi. Pada tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin dibuat dan disahkan pada Rapat Umum Ikhwanul Muslimin pada 24 September1930. Pada tahun 1932, struktur administrasi Ikhwanul Muslimin disusun dan pada tahun itu pula, Ikhwanul Muslimin membuka cabang di Suez, Abu Soweir dan al-Mahmoudiya. Pada tahun 1933, Ikhwanul Muslimin menerbitkan majalah mingguan yang dipimpin oleh Muhibuddin Khatib.[7]


Kemudian mereka menjadikan kamar di suatu rumah sewaan yang sangat sederhana sebagai “Kantor Jama’ah” dengan mengambil nama Madrosah At Tahzab. Disanalah Hasan Al-Banna mulai meletakkan manhaj tarbawi bersama pengikut-pengikutnya, manhaj tarbawi pada waktu itu adalah Al-Qur’anul Karim, As Sunnah An Nabawiyah, Pelatihan khutbah dan Pelatihan mengajar untuk umum.

Setelah beberapa bulan jumlah pengikut jama’ah menjadi 76 orang, kemudian terus bertambah dan mereka mendermakan harta mereka untuk da’wah sampai dapat membeli sebidang tanah untuk dibangun diatasnya markas jama’ah: Darul Ikhwanul Muslimin, terdiri dari 1 masjid, 1 sekolah untuk putra, 1 sekolah untuk putri, dan nadi (tempat pertemuan) ikhwan.[8]


Pada bulan Oktober tahun 1932 M, Hasan Al-Banna dimutasi kerja oleh Pemerintah ke Kairo sebagai guru di Madrasah Abbas I, Distrik Sabtiah. Perpindahan kerja ini menjadi peluang baginya untuk membawa da’wah ke Kairo ibukota Mesir. Di Kairo Hasan Al Banna dan ikhwan memilih rumah di jalan Nafi No.24 sebagai Markaz Amm, dan ia tinggal bertempat di lantai atas selama 7 tahun da’wah di Kairo dari tahun 1932 sampai 1939 M. Markaz Amm mengalami beberapa kali pindah setelah itu. Dengan kondisi banyaknya partai politik yang bersaing untuk menjadi partai yang berkuasa, Ia didapati pula banyak organisasi Islam dan non Islam. Di tengah-tengah kehidupan Kairo, da’wah ikhwan terus meluncur membuktikan keberadaannya, efektifitasnya dan menarik banyak pengikut dan pendukungnya serta membuka syu’bah-syu’bah baru.[9]


Da’wah di Kairo belum sampai satu tahun Hasan Al-Banna telah mampu menyebarkan da’wah di seluruh kota Kairo dan telah membuka syu’bah-syu’bah baru lebih dari 50 kabupaten, dimana Ia mendatangi perkampungan negeri Mesir untuk berda’wah tidak mengenal letih, apalagi malas. Hal itu dilakukannya disaat-saat musim liburan sekolah.  Pada musim liburan di musim panas, beliau menjelajah seluruh Mesir dengan jalan kaki atau naik kereta api buruk kelas tiga yang penuh sesak dan berhenti disetiap kampung maupun kota untuk berdakwah.

 
Pada tahun 1933, kantor Ikhwanul Muslimin dipindahkan dari Ismailiah ke Kairo. Dalam masa tiga tahun di sana, Harakah Ikhwanul Muslimin membuat penekanan yang berat dalam mendidik umat islam supaya menghayati islam, yaitu melalui cara menggerakkan masjid-masjid, mendirikan sekolah-sekolah dan pusat-pusat kebajikan di seluruh Mesir. Begitulah Hasan Al Banna membuat gebrakan baru yang belum di buat oleh para ulama besar di Al Azhar saat itu. Kota Kairo saat itu berkiblat ke Eropa. Umat Islam malu untuk sembahyang tempat umum. Murid-murid di sekolah belajar membenci apa saja perkara yang berkaitan dengan Islam. Di kota besar inilah Hassan Al Banna berhasil mengajak ratusan pelajar didikan Barat kembali mencintai Islam dan menjadi muridnya yang gigih berjuang.[10]


Pada tahun 1948, dia mengirimkan satu batalion pasukan ke Palestin. Pasukan yang dikirim ke Palestin itu terdiri daripada orang-orang Ikhwanul Muslimin. Dalam pertempuran melawan orang-orang Ikhwanul Muslimin, pasukan Yahudi mendapatkan kekalahan yang teruk. Salah satu jenderalnya berkata, ‘Seandainya mereka memberikan kepadaku satu batalion orang-orang Ikhwanul Muslimin, maka dengan pasukan tersebut saya pasti menaklukkan dunia.’[11]


11 Desember 1949  Sebuah pertemuan direkayasa antara Hasan Al-Banna dengan Mohammad An Naqhi (salah satu pengurus Dar Asy-Syubban). masalah yang diagendakan belum ada kejelasan ,yaitu salah seorang menteri yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah Ikhwan. Lalu pulanglah ia dengan menantunya Ustadz Mansur dan sepakat akan datang kembali esok harinya. Namun tiba-tiba ia mendapati suasana yang berbeda di jalan protokol Quin Ramses menjadi sepi. Kecurigaan semakin tinggi ketika baru akan melangkahkan kaki menuju jalan raya tiba-tiba seluruh lampu penerang jalan mati. Saat itulah beberapa peluru meluncur, sebagian mengenainya dan peluru yang lain mengenai Ustadz Mansur. Namun Hasan Al-Banna masih kuat untuk naik sendiri menuju gedung Dar Asy Syubban dan memutar telepon untuk meminta pertolongan. Meskipun demikian, ia kemudian terlantar di salah satu kamar Rumah Sakit “Qosr Aini” karena tak seorangpun dari perawat atau dokter yang berani menolongnya, sekalipun banyak dokter muslim yang ingin merawatnya karena kepala RS tidak mengizinkan hal tersebut sesuai perintah kerajaan dan tepat hari Sabtu malam Minggu tanggal 12 Desember 1949 beliau pulang ke Rahmatullah. Hari itu dunia diliputi kesedihan yang mendalam karena dengan kematiannya berarti hilang pula seorang pembela kebenaran penegak keadilan di tengah-tengah kelaliman. Pagi hari Minggu tanggal 12 Desember 1949 sampailah berita kematian kepada orang tuanya, Syaikh Ahmad Al Banna. Sangat lebih menyedihkan lagi,  rezimpun tidak mengizinkan ummat Islam untuk merawat jenazahnya dan berta’ziyah ke rumah shohibul musibah. Untuk menunjukkan keangkuhan serta kedengkiannya terhadap Hasan Al-Banna mereka menyusun penjagaan militer dengan ketat, seperti siap untuk bertempur serta tank-tank yang seakan-akan hendak menghadapi sebuah pertempuran yang dahsyat. Tidak seorangpun diizinkan membawa jenazahnya menuju makam kecuali orang tua beserta kedua saudari perempuannya.


Lanjut Baca di Part 2 :D



Tidak ada komentar:

Posting Komentar