A.
Pendahuluan
Islam adalah agama universal yang
mengajarkan segala sesuatu
Islam meliputi alam semesta, ekonomi, sosial politik, dengan konsepsi umum yang
kemudian melahirkan banyak interpretasi. Tafsiran antar para pemikir beragam
macamnya, termasuk dalam hal pemikiran politik.
Pemikiran Politik dalam Islam berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Hasan Al Bana adalah seorang mujahid dakwah, peletak dasar-dasar gerakan Islam
sekaligus sebagai pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan
Muslimin) jamaah dari umat Islam yang mengajak
dan menuntut ditegakkannya syariat Allah yang kemudian lewat gerakan ini
pemikiran tersebar dari mesir ke seluruh dunia. Makalah ini akan membahas
Kehidupan Hasan Al Banna, Pemikiran konsepsi politiknya serta pengaruhnya di
Indonesia.
Hassan Al-Banna: The man who started it all |
B.
Pembahasan
Kehidupan Hassan
Al Banna (1906 M - 1949 M)
Hassan al-Banna lahir pada 14 Oktober 1906 di Mahmudiyya,
Mesir (utara-barat dari Kairo) beliau adalah seorang guru dan seorang reformis
Mesir baik sosial dan politik Islamnya, yang terkenal karena mendirikan Ikhwanul Muslimin,
salah satu organisasi Islam terbesar dan paling berpengaruh dari
abad ke-20. Dari usia dua belas tahun, ia mulai terbiasa mendislipinkan
kegiatannya menjadi empat; siang hari di pergunakanya untuk menuntut ilmu di
sekolah, kemudian belajar membuat dan membetulkan jam dengan orang tua nya
hingga sore, waktu sore hingga menjelang tidur ia gunakan untu mengulang
kembali pelajaran sekolah.sementara membaca dan mengulang-ulang hafalan
al-qur'an ia lakukan seusai salat shubuh. Jadi tidak mengherankan bila Hassan
Al-Banna mencetak prestasi-prestasi gemilang di kemudian hari. Pada usia 14
tahun, Hassan Al-Banna telah menghafal seluruh Al-Qur'an. Hassan Al-Banna lulus
dari sekolahnya dengan predikat terbaik dan nomor lima terbaik di seluruh
mesir. Pada usia 16 tahun ia telah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Darul
Ulum. [1]
Sederet prestasi Hassan kecil
tidak bisa dilepaskan dari peran Ayahnya,
Syaikh Ahmad al-Banna, adalah seorang imam lokal yang dihormati dan guru masjid
dari ritus Hanbali. Ia belajar di Al-Azhar University (Lia 24, 1998). Dia
menulis dan berkolaborasi pada buku-buku tentang tradisi Islam, dan juga
memiliki toko di mana ia memperbaiki jam tangan dan menjual gramophones.
Meskipun Syaikh Ahmad Al Banna dan istrinya memiliki beberapa properti, mereka
tidak kaya dan harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup, terlebih setelah
mereka pindah ke Kairo pada tahun 1924. Seperti kebanyakan orang lainnya,
mereka menemukan bahwa belajar Islam dan kesalehan tidak lagi sangat dihargai
di ibukota (akibat paham sekular yang begitu kuat saat itu, yang dibawa oleh
kolonial inggris untuk merobohkan semangat kaum muslimin), dan bahwa keahlian
tidak bisa bersaing dengan industri berskala besar. [2]
Semangat perjuangan Islam dan sifat kepimpinan telah
mulai nampak pada umur yang masih muda. Sejak dini Hasan Al-Banna sudah ditempa
oleh keluarganya yang taat beragama untuk meraih dan memperdalam ilmu di
berbagai tempat dan majelis ilmu. Pertama kali beliau menggali ilmu di Madrasah
Ar Rasyad dengan seorang guru bernama syekh Muhammad Zahran yang juga merupakan
pemilik madrasah tersebut. Di madrasah ini, Al-Banna belajar hadits nabi dengan
target menghapal dan memahaminya. Selain hadits, Al-Banna juga belajar insyak,
qawa’id dan lain sebagainya. Kemudian dia pindah ke madrasah ‘Idadiyah dan madrasah
al-Muallimin al-Awwaliyah di Damanhur, kemudian melanjutkan ke Darul Ulum Mesir
pada tahun 1923 M dalam usia 16 tahun.[3]
Pemikiran
Al Banna sangat jauh berbeda dengan cara berfikir penguasa dunia Islam saat
itu, dimana seruan agar mencontohi cara barat oleh Kamal Attaturk bertiup
kencang dan tidak ada henti ditambah propaganda dengan slogan 'Mesir adalah
sebahagian dari Eropa' selain itu Para
nasionalis mendesak pemerintahan Mesir agar kembali ke puncak kejayaan Firaun
fenomena ini membuat Hassan al Banna merasa sedih, sebab sebahagian besar orang
terhormat dan berpengaruh menyertai barisan modernis yang menyesatkan umat Islam.
Dalam keadaan sedih dan pilu ini, beliau berusaha merapatkan diri dengan Sayyid
Rashid Rida' serta murid-muridnya. Di sinilah titik permulaan berdirinya satu
harakah Islam yang besar dan tersusun untuk menghancurkan Jahilliah Modern
dengan segala pemikirannya. Beliau mulai mendidik orang-orang dengan penuh
sabar tentang pentingnya Islam dalam kehidupan individual dan masyarakat. Hasan
Al-Banna dikenal sebagai seorang yang ahli dalam berpidato, lidahnya sangat
fasih, ahli dalam sastera dan pandai memilih kata-kata yang tepat. Pada tahun
1941, dia dipenjara selama sebulan berkaitan dengan pidato yang disampaikannya
yang isinya mengkritik sistem politik Inggeris pada Perang Dunia ke II. pada
tahun yang sama, dia dipaksa pindah ke Qana. Di tempat barunya ini, Al-Banna
terus melanjutkan perjuangannya dengan menyampaikan dakwah dan mengajarkan
Islam kepada umat dari satu tempat ke tempat yang lain dan mengirimkan
delegasi-delegasi ke seluruh penjuru dunia untuk mengetahui keadaan umat Islam.
Hassan al-Banna dan Ikwhanul Muslim
Pada bulan September tahun 1927 M, Hasan Al Banna
diangkat menjadi guru SD di Kota Isma’iliyah, disanalah beliau memulai
da’wahnya, di warung-warung kopi kemudian pindah ke masjid. Beliau sudah
terbiasa da’wah di tempat-tempat seperti ini, ketika beliau masih mahasiswa di
Darul Ulum, Kairo. Da’wah Hasan Al Banna mendapat sambutan dari para
pengunjung warung-warung kopi, sehingga sebagian diantara mereka bertanya
kepadanya tentang apa yang harus dilakukan demi agama dan tanah air.[4]
Setelah beberapa lama berda’wah di warung-warung kopi
kemudian Hasan Al Banna pindah dari warung kopi ke mushalla (Zawiyah). Di
Zawiyah inilah beliau berbicara dan mengajarkan praktek ibadah, dan meminta
kepada mereka agar meninggalkan kebiasaan hidup boros bermewah-mewahan. Para
pendengar menyambutnya dengan baik. Kemudian ia memperluas interaksinya kepada seluruh unsur yang
berpengaruh terhadap masyarakat, yaitu para ulama, Syaikh kelompok sufi, tokoh
masyarakat (wujaha), dan berbagai perkumpulan-perkumpulan.
Pada bulan Maret 1928 M, datanglah 6 orang laki-laki yang
tertarik dengan da’wah Hasan Al-Banna, mereka adalah: Hafiz Abdul Hamid (tukang
bangunan), Ahmad Al Hushor (tukang cukur), Fuad Ibrahim (tukang gosok pakaian),
Ismail Izz (penjaga kebun), Zaki Al Maghribi (tukang rental dan bengkel
sepeda), dan Abdurrahman Hasbullah (supir).[5]
Mereka berbicara kepada Hasan Al-Banna tentang apa yang
harus mereka lakukan demi agama dan mereka menawarkan sebagian harta milik
mereka yang sedikit. Mereka pun meminta Hasan Al-Banna menjadi pimpinan mereka.
Lalu mereka berbai’at kepadanya untuk bekerja demi Islam dan mereka
bermusyawarah tentang nama perkumpulan mereka. Imam Al Banna berkata : “Kita
ikhwah dalam berkhidmat untuk Islam, dengan demikian kita Al Ikhwanul Muslimin”.[6]
Pada Maret 1928 Hassan al-Banna
mendirikan Ikwhanul Muslim,
bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad
Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi. Pada tahun
1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin dibuat dan disahkan pada Rapat Umum
Ikhwanul Muslimin pada 24 September1930. Pada tahun 1932, struktur administrasi
Ikhwanul Muslimin disusun dan pada tahun itu pula, Ikhwanul Muslimin membuka
cabang di Suez, Abu Soweir dan al-Mahmoudiya. Pada tahun 1933, Ikhwanul
Muslimin menerbitkan majalah mingguan yang dipimpin oleh Muhibuddin Khatib.[7]
Kemudian mereka menjadikan kamar di suatu rumah sewaan
yang sangat sederhana sebagai “Kantor Jama’ah” dengan mengambil nama Madrosah
At Tahzab. Disanalah Hasan Al-Banna mulai meletakkan manhaj tarbawi bersama
pengikut-pengikutnya, manhaj tarbawi pada waktu itu adalah Al-Qur’anul Karim,
As Sunnah An Nabawiyah, Pelatihan
khutbah dan Pelatihan mengajar untuk umum.
Setelah beberapa bulan jumlah pengikut jama’ah menjadi 76
orang, kemudian terus bertambah dan mereka mendermakan harta mereka untuk
da’wah sampai dapat membeli sebidang tanah untuk dibangun diatasnya markas
jama’ah: Darul Ikhwanul Muslimin, terdiri dari 1 masjid, 1 sekolah untuk putra,
1 sekolah untuk putri, dan nadi (tempat pertemuan) ikhwan.[8]
Pada bulan Oktober tahun 1932 M, Hasan Al-Banna dimutasi
kerja oleh Pemerintah ke Kairo sebagai guru di Madrasah Abbas I, Distrik
Sabtiah. Perpindahan kerja ini menjadi peluang baginya untuk membawa da’wah ke
Kairo ibukota Mesir. Di Kairo Hasan Al Banna dan ikhwan memilih rumah di jalan
Nafi No.24 sebagai Markaz Amm, dan ia tinggal bertempat di lantai atas selama 7
tahun da’wah di Kairo dari tahun 1932 sampai 1939 M. Markaz Amm mengalami
beberapa kali pindah setelah itu. Dengan kondisi banyaknya partai politik yang
bersaing untuk menjadi partai yang berkuasa, Ia didapati pula banyak organisasi
Islam dan non Islam. Di tengah-tengah kehidupan Kairo, da’wah ikhwan terus
meluncur membuktikan keberadaannya, efektifitasnya dan menarik banyak pengikut
dan pendukungnya serta membuka syu’bah-syu’bah baru.[9]
Da’wah di Kairo belum sampai satu tahun Hasan Al-Banna
telah mampu menyebarkan da’wah di seluruh kota Kairo dan telah membuka
syu’bah-syu’bah baru lebih dari 50 kabupaten, dimana Ia mendatangi perkampungan
negeri Mesir untuk berda’wah tidak mengenal letih, apalagi malas. Hal itu
dilakukannya disaat-saat musim liburan sekolah.
Pada musim liburan di musim panas, beliau menjelajah seluruh Mesir dengan
jalan kaki atau naik kereta api buruk kelas tiga yang penuh sesak dan berhenti
disetiap kampung maupun kota untuk berdakwah.
Pada tahun 1933, kantor Ikhwanul Muslimin dipindahkan
dari Ismailiah ke Kairo. Dalam masa tiga tahun di sana, Harakah Ikhwanul
Muslimin membuat penekanan yang berat dalam mendidik umat islam supaya
menghayati islam, yaitu melalui cara menggerakkan masjid-masjid, mendirikan
sekolah-sekolah dan pusat-pusat kebajikan di seluruh Mesir. Begitulah Hasan Al
Banna membuat gebrakan baru yang belum di buat oleh para ulama besar di Al
Azhar saat itu. Kota Kairo saat itu berkiblat ke Eropa. Umat Islam malu untuk
sembahyang tempat umum. Murid-murid di sekolah belajar membenci apa saja
perkara yang berkaitan dengan Islam. Di kota besar inilah Hassan Al Banna
berhasil mengajak ratusan pelajar didikan Barat kembali mencintai Islam dan
menjadi muridnya yang gigih berjuang.[10]
Pada tahun 1948, dia mengirimkan satu batalion pasukan ke
Palestin. Pasukan yang dikirim ke Palestin itu terdiri daripada orang-orang
Ikhwanul Muslimin. Dalam pertempuran melawan orang-orang Ikhwanul Muslimin,
pasukan Yahudi mendapatkan kekalahan yang teruk. Salah satu jenderalnya
berkata, ‘Seandainya mereka memberikan kepadaku satu batalion orang-orang
Ikhwanul Muslimin, maka dengan pasukan tersebut saya pasti menaklukkan dunia.’[11]
11
Desember 1949 Sebuah pertemuan direkayasa antara
Hasan Al-Banna dengan Mohammad An Naqhi (salah satu pengurus Dar Asy-Syubban).
masalah yang diagendakan belum ada kejelasan ,yaitu salah seorang menteri yang
diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah Ikhwan. Lalu pulanglah ia
dengan menantunya Ustadz Mansur dan sepakat akan datang kembali esok harinya.
Namun tiba-tiba ia mendapati suasana yang berbeda di jalan protokol Quin Ramses
menjadi sepi. Kecurigaan semakin tinggi ketika baru akan melangkahkan kaki
menuju jalan raya tiba-tiba seluruh lampu penerang jalan mati. Saat itulah
beberapa peluru meluncur, sebagian mengenainya dan peluru yang lain mengenai
Ustadz Mansur. Namun Hasan Al-Banna masih kuat untuk naik sendiri menuju gedung
Dar Asy Syubban dan memutar telepon untuk meminta pertolongan. Meskipun
demikian, ia kemudian terlantar di salah satu kamar Rumah Sakit “Qosr Aini”
karena tak seorangpun dari perawat atau dokter yang berani menolongnya,
sekalipun banyak dokter muslim yang ingin merawatnya karena kepala RS tidak
mengizinkan hal tersebut sesuai perintah kerajaan dan tepat hari Sabtu malam
Minggu tanggal 12 Desember 1949 beliau pulang ke Rahmatullah. Hari itu dunia
diliputi kesedihan yang mendalam karena dengan kematiannya berarti hilang pula
seorang pembela kebenaran penegak keadilan di tengah-tengah kelaliman. Pagi
hari Minggu tanggal 12 Desember 1949 sampailah berita kematian kepada orang
tuanya, Syaikh Ahmad Al Banna. Sangat lebih menyedihkan lagi, rezimpun tidak mengizinkan ummat Islam untuk
merawat jenazahnya dan berta’ziyah ke rumah shohibul musibah. Untuk menunjukkan
keangkuhan serta kedengkiannya terhadap Hasan Al-Banna mereka menyusun
penjagaan militer dengan ketat, seperti siap untuk bertempur serta tank-tank
yang seakan-akan hendak menghadapi sebuah pertempuran yang dahsyat. Tidak
seorangpun diizinkan membawa jenazahnya menuju makam kecuali orang tua beserta
kedua saudari perempuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar